SEBERAPA GALAK ISTRIMU?
(Ditulis oleh Ust Baba Ali, Pengasuh SAMARA CENTER)
“Istriku galak, Ustadz!” Tutur seorang bapak dengan kesal, raut mukanya tak menyenangkan sama sekali.
“Seberapa galak istrimu, Pak?” Tanya Sang Ustadz santai berbalut senyum.
Sebetulnya tak ada istri yang galak, yang ada hanyalah istri yang stress dan berwatak keras. Tapi sekeras-kerasnya watak seorang istri, ia tetaplah wanita (feminim). Jiwanya tetap berhias kelembutan, dan penuh perasaan kasih sayang.
Tak sedikit saya menyaksikan wanita berwatak keras, tapi anaknya tetap banyak. (Waduh, keceplosan. Hehehe!). Pasangannya setia, dan rumah tangganya awet hingga diakhiri oleh kematian.
Watak keras itu produk ayah ibunya, dan lingkungan dimana ia bertumbuh. Ibarat gabah yang tumbuh di sawah yang kering. Berasnya tetap enak dimakan, asal dimasak dengan cara yang benar. Hasilnya tetap memuaskan. Begitupula dengan seorang istri. Baik dan buruknya seorang istri sangat ditentukan oleh suaminya. Tangan yang cemerlang, menghasilkan karya gemilang. Bermodal kesabaran dan kasih sayang, sekeras apapun watak istri, seorang suami tetap bisa membentuknya menjadi wanita shalihah.
Memang tak mudah, butuh keringat berkuah-kuah, lelah, asal lillah insyaAllah bernilai ibadah. Sabar dan bersungguh-sungguh, itu kata kuncinya. Tapi, kalau saya pribadi lebih cenderung mencari yang siap pakai, nggak mau repot, banyak yang perlu diurus. Sekiranya urusan keluarga saja belum beres, terus kapan bisa berkontribusi untuk umat?
Bila watak yang keras adalah produk orangtua dan lingkungan, maka istri yang stress adalah produk suaminya. Kebagusan agama, jiwa kepemimpinan, dan tanggungjawab seorang suami dipertaruhkan di sini.
Kenapa istri bisa stress? Si istri menjawab, “Kerjaan rumah menumpuk, anak rewel, suami jutek, capek, sumpek, kasur bau ketek, pengen pempek, dan bla bla...”
Istri stress, bisa jadi ia kurang piknik, maka ajaklah ia jalan-jalan. Cari tempat yang bisa terjangkau dengan ketebalan dompet. Lakukanlah minimal sekali dalam seminggu. Semisal ke pantai, sawah, gunung, naik sampan menyusuri sungai, kebun kopi, dan lainnya. Anak titipkan ke mertua, bawa camilan yang banyak, dan pacaranlah berdua saja.
Istri stress, bisa jadi kebutuhan dapur menipis, maka ajaklah ia shoping. InsyaAllah stressnya akan hilang seketika. Atur budgetnya biar nggak kolaps. Catat apa-apa yang hendak dibeli. Setelah itu makanlah berdua di rumah makan yang disukai. Bagaimana dengan anak-anak? Bawa. Atau titipkan lagi saja ke mertua, agar privasi kalian tidak terganggu.
Istri stress, bisa jadi karena kurang dipuji, jarang digombal, maka mulai saat ini rajin-rajinlah memuji dan menggombal. Pujilah masakannya walau terasa keasinan, hambar nggak karuan, atau rasa permen nano-nano. Pujilah kecantikannya walau onderdilnya sudah goyang sana-sini. Panggillah ia dengan sebutan sayang, cinta, bidadariku, atau apa saja yang terdengar indah dan disukainya.
Istri stress, bisa jadi karena kurang ngaji. Ruhiyahnya kosong melompong, sekarat berkarat, dan kerempeng melempeng. Ajak ia mengukiti kajian, perbaki bacaan Qur’annya, simak hafalannya, kawal shalat fardhunya, dan sesekali bangunlah kalian disepertiga malam. Tahajjudlah berdua, semoga cinta kalian dalam mahabbahNya.
Jikalau semua itu sudah dilakukan, tapi tetap saja sering marah-marah, lalu bagaimana? Mari kita simak kisah Khalifah Umar Ibnu Khattab ra berikut ini.
Suatu waktu, seorang lelaki tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar Ibnu Khattab dengan maksud hendak mengadukan perilaku istrinya yang suka marah-marah. Begitu tiba di kediaman Khalifah Umar, lelaki itu tanpa sengaja mendengar suara istri Umar bin Khaththab sedang meleja khalifah kedua itu. Lelaki itu semakin bingung, karena Khalifah Umar sama sekali tidak membela diri.
Menyaksikan hal tersebut, lelaki itu pun balik kanan dan melangkahkan kaki untuk pulang sembari bergumam, “Kalau Khalifah saja dimarahi oleh istrinya dan tidak bereaksi apa-apa, untuk apa saya mengadu kepada beliau?” Sembari terus melangkahkan kakinya.
Tak disangka, ternyata Khalifah Umar menyadari kehadiran sang tamu. Beliau pun segera membuka pintu dan tatkala melihat sang tamu telah beranjak, buru-buru beliau memanggil, ”Apa keperluanmu?”
Lelaki itu pun berbalik dan segera menghadap Khalifah Umar. ”Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya aku datang untuk mengadukan perilaku istriku dan sikapnya kepadaku, tapi aku mendengar hal yang sama pada istri tuan.”
”Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, ” jawab Umar.
”Di samping itu,” sambung Umar, ”Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatan istriku.”
”Wahai Amirul Mu’minin, istriku juga demikian,” ujar orang laki-laki itu.
”Oleh karena itu, sabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar!”
Kisah di atas mengajarkan kepada suami, lagi-lagi bagaimana sikap terbaik seorang suami dalam menghadapi ketidaksempurnaan istrinya. Suami perlu menyadari bahwa istrinya bukan bidadari yang hanya mengenal kelembutan dan kepatuhan total. Istrinya hanyalah manusia biasa. Sebab ia manusia biasa, masih bernaung padanya banyak kelemahan. Di antara kelemahannya itu adalah emosi yang tak terkendali. Alias galak. Maka sikap terbaik seorang suami adalah sabar. Bersabarlah, sebagaimana halnya Khalifah Umar yang bersabar atas istrinya. Beralasanlah yang baik, sebagaimana baiknya Khalifah Umar menarasikan kelemahan istrinya.
Namun kisah ini banyak disalah tafsirkan oleh kebanyakan wanita. Tak sedikit para istri menjadikan kisah ini sebagai hujjah (pembelaan) atas dibolehkannya marah-marah kepada suami. Bersuara keras kepada suami. Membentak suami. Berlaku kasar kepada suami. Menumpahkan emosi kepada suami, atau apalah namanya. Ini kesalahan fatal. Sekali lagi saya ingatkan kepada kalian wahai para istri, bahwa ini adalah kekeliruan besar yang amat bahaya bagi kalian. Haram hukumnya. Ketidakrelaan suamimu atas hal ini menjadi asbab ketidakrelaan Allah SWT kepada kalian.
Emosi yang membludak seorang istri Umar, bukan tanpa sebab. Sejarah mencatat, Umar memiliki anak yang banyak. Abu Fidal Ibnu Katsir mengatakan, “Jumlah anak Khalifah Umar sebanyak 13 orang. Sementara istrinya berjumlah 7 orang. Dan, di penghujung hayatnya ia mempertahankan 4 orang istri.”
Dalam kondisi seperti itu, Khalifah Umar memilih hidup sangat sederhana. Tidak berorientasi menumpuk harta. Sementara istri-istrinya, di antaranya Zainab Binti Mazh’un, sudah terbiasa hidup bermewah-mewahan sejak zaman jahiliyah. Semenjak masuk islam, kekayaannya terus berkurang sebab digunakan untuk dakwah fisabilillah, dan puncaknya saat menjadi khalifah. Tak jarang, beliau hidup berkekurangan. Miskin. Melihat kenyataan seperti ini, jarang wanita yang siap. Tatkala emosinya membludak, sering marah-marah, maka suami harus bersabar. Dengan sabar, marah pasti kelar.
Tapi apakah perilaku marah-marah seperti itu dibenarkan dalam islam? Tidak sama sekali. Selanjutnya, bisa jadi setelah kekhilafan tersebut terjadi, istri Umar langsung meminta ma’af kepada suaminya dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Dan, Umar sebagai orang yang shalih, sudah pasti mema’afkan istrinya. Sementara Anda yang mengambil penggalan kisah diatas, memahaminya dengan keliru, dan menyimpulkannya dengan terburu-buru, justru tenggelam dalam lumpur dosa besar.
Lalu, bagaimana semestinya seorang istri dalam perspektif islam?
Rasulullah Saw bersabda, “Dan sebaik-baik istri yaitu yang taat pada suaminya, bijaksana, berketurunan, sedikit bicara, tidak suka membicarakan suatu hal yg tidak berguna, tidak cerewet serta tidak suka bersuara keras, dan setia pada suaminya.” (HR. An Nasa’i)
Wallahu alam bisshowab!
Komentar
Posting Komentar